Free download terjemahan kitab fathul muin




















Wajib juga mendahulukan salat kadha, yang tanpa uzur atas kadha salat yang tertinggal sebab uzur, walaupun akan terjadi ketidak tertiban waktunya. Karena tertib itu hukumnya sunah, sedangkan bersegera adalah hukumnya wajib. Sunah mengakhirkan salat-salat Rawatib atas salat kadha, sebab ada uzur: dan wajib mengakhirkan salat-salat Rawatib atas kadha salat tanpa uzur. Hal ini berdasarkan sebuah hadis. Anak laki-laki atau perempuan yang sudah mumayyiz, yaitu telah dapat makan, minum dan beristinja sendiri, wajib atas kedua orangtua, orang seatasnya, orang yang menerima wasiat dan pemilik budak, agar memerintahnya mengerjakan salat, walaupun salat kadha dengan segala syarat-syaratnya, kalau anak tersebut sudah sempurna berusia 7 tahun, meskipun sebelum usia tersebut si anak sudah tamyiz.

Anak yang sudah mencapai usia 10 tahun sempurna, kalau meninggalkan salat, walaupun salat kadha atau meninggalkan syarat dari syarat salatnya, maka bagi orangtua dan yang lain wajib memukulnya, asal tidak sampai melukai.

Begitu juga jika ia sudah kuat berpuasa. Ia diperintahkan berpuasa setelah berusia 7 tahun. Jika setelah berusia 10 tahun meninggalkan, maka harus dipukul. Sama seperti salat. Hikmah yang dikandung dari semua itu, adalah melauhnya untuk beribadah, agar nanti terbiasa dan tidak meninggalkannya.

Meskipun kias yang seperti itu tidak tepat: Selesai. Wajib pula bagi orangtua dan orang yang telah tersebut di atas, melarang anak kecil dari hal-hal yang diharamkan dan mengajarnya kewajiban-kewajiban dan sejenisnya, yaitu syariat-syariat lain yang lahir kelihatan. Meskipun dalam masalah sunah, misalnya bersiwak, serta memerintah untuk mematuhinya. Semua kewajiban di atas bagi orangtua dan yesamanya, baru berakhir setelah anak balig dan pintar. Masalah biaya pendidikannya, misalnya pengajaran Algur-an , dan adab, adalah diambilkan dari harta anak, ayah, kemudian ibunya.

Kesimpulan dari itu, wajib dipukul jika tidak tunduk. Syaikhuna Ibnu Hajar AlHaitami berkata: Hal itu sudah jelas, jika tidak dikhawatirkan akan nusyuz tidak taat. Dalam masalah mendidik terhadap istri, Imam Az-Zarkasi memutlakkan hukum sunah. Permulaan yang wajib, hingga masalah memerintahkan mengerjakan salat, adalah beban ayah dan orang yang telah disebutkan, yaitu mengajar anak yang sudah tamyiz: Sesungguhnya Nabi kita, Muhammad saw.

Pembahasan syarat lebih sesuai didahulukan daripada rukun. Sebab syarat itu wajib didahulukan dipenuhi sebelum mengerjakan salat dan tetap terpenuhi di dalamnya.

Wudu —dibata dhammah wawunya—: Menggunakan air pada anggota badan tertentu, yang dimulai dengan niat. Sedangkan wadu —dibaca fat-hah wawunya—: Air yang dipergunakan untuk berwudu. Pertama: Air mutlak. Karena itu, selain air mutlak tidak dapat untuk menghilangkan hadas dan menyucikan najis, serta tidak dapat digunakan untuk thaharahthaharah yang lain, walaupun thaharah sunah.

Memang benar! Tidak menjadi masalah bagi penanggung hadas kecil atas perpindahan air dari telapak tangan ke hasta: begitu juga orang junub, kepindahan air dari Repala ke anggota badan lain yang banyak terkena tetesan air dari kepala, misalnya dada. Baginya boleh membasuh tangan dengan air itu. Tidak pula air. Ataupun berubahnya karena. Bukan campuran yang berupa tanah atau air garam, walaupun keduanya dimasukkan ke air itu.

Perubahan yang tidak sampai: mengubah kemutlakan air adalah. Termasuk goloogan pendamping. Lain halnya dengan segolongan ulama.

Jika disangsikan: Apakah barang yang berada di dalam itu campuran atau pendamping, maka barang tersebut dihukumi pendamping. Seperti halnya juga air itu berubah karena diam terlalu lama atau daun-daun yang berguguran sendiri dan hancur serta pohonnya jauh dari air itu. Atau perubahan air sebab barang najis, walaupun sangat : sedikit dan jumlah air banyak, yaitu dua kulah atau lebih —dalam bentuk dua barang suci dan najis. Sedangkan dalam bangunan yang berbentuk selinder bulat , adalah garis tengah 1 hasta manusia, dalamnya 2 hasta tangan tukang kayu.

Air dua kulah, walaupun hanya perkiraan, sebagaimana kalau diragukan: Air itu ada dua kulah atau tidak, dan bahkan sudah diyakinkan sebelumnya, bahwa air itu sedikit, adalah udak dihukumi najis bila kemasukan najis, selama udak berubah sebab najis tersebut, walaupun najis tersebut larut dalam air. Ketika kita mengambil air yang jumlahnya banyak , udak wajib menjauhi najis yang ada padanya. Jika ada orang kencing di laut, lalu terjadi buih, maka buih tersebut dihukumi najis, jika jelas terjadi dari kencingnya, atau dani air yang telah berubah salah satu sifatnya sebab air kencing tadi.

Jika sepotong kotoran unta dilemparkan ke laut, lalu memercikkan air yang mengenai sesuatu, maka barang tersebut tidaklah menjadi najis. Hukum ini juga berlaku pada benda padat yang basah dan cair, walaupun jumlahnya banyak.

Air sedikit tidak menjadi najis sebab kemasukan bangkai binatang yang berjenis tidak berdarah mengalir kalau dipotong tubuhnya, seperti binatang kala dan cecak: kecuali jika binatang tersebut dapat mengubah airnya, walaupun hanya sedikit, maka air itu dihukumi najis. Jika bangkainya berupa kepiting dan katak, maka air yang kemasukan adalah najis.

Namun pendapat ini ber. Jika bangkai-bangkai tersebut dilemparkan ke dalam air yang sedikit, maka air itu menjadi najis, meskipun orang yang melempar bukan mukalaf. Jika binatang tersebut masih hidup, sama sekali tidak membawa pengaruh jika dimasukkan ke air sedikit ,. Dalam hal ini sedikat atau banyak hukum air yang mengalir sama dengan yang tidak mengalir. Diterangkan dalam kaul Qadim: Air sedikit tidak dapat menjadi najis jika terkena najis , kecuali bila mengalami perubahan.

Pendapat ini seperti mazhab Imam Malik r. Air sedikit yang telah menjadi najis, jika mencapai dua kulah, akan menjadi sud lagi, walaupun dengan cara menambahkan air najis, sekira tidak menyebabkannya berubah.

Air banyak yang najis, dapat menjadi suci kembali setelah hilang perubahan dengan sendirinya, menambahkan atau Jmenguranginya, sedangkan sisa air itu masih ada dua kulah. Kedua: Mengalirkan air pada anggota yang dibasuh. Karena itu, tidak cukup hanya mengusapkan air tanpa mengalir, sebab hal itu tidak disebut membasuh. Sementara segolongan ulama berpendapat lain. Keempat: Tiada penghalang antara anggota basuhan dengan air, misalnya kapur, lilin, minyak yang sudah mengeras, bekas tinta yang masih ada zatnya dan inai.

Berbeda dengan minyak yang masih basah —walaupun air masih tetap melesetdan bekas noda tinta atau inai. Disyaratkan juga sebagaimana penetapan ulama: Hendaknya tiada kotoran di bawah kuku yang mengganggu air sampai ke kulitnya. Sementara segolongan ulama berpendapat lain: di antaranya adalah Al-Ghazali, Az-Zarkasi dan lain-lain, di mana mereka menguatkan pendapatnya dan menjelaskan adanya kotoran tersebut adalah sebagai sesuatu yang bisa dimaklumi — terjadinya, selama kotoran itu adalah kotoran biasa, bukan semacam adukan bahan roti.

Ibnu Hajar mengatakan: Pendapat tersebut adalah daif. Dalam Kitab At-Tatimmah dan lainnya telah dipaparkan mengenai yang terdapat dalam ArRaudhah dan lainnya, bahwasesuatu yang ada di bawah kuku, sekira dapat menghalangi air, adalah tidak dapat dimaklumi keberadaannya. Al-Baghawi berfatwa dalam masalah kotoran yang diakibatkan debu, bahwa hal itu mencegah sah wudu, Berbeda dengan kotoran yang timbul dari badan sendiri, yaitu keringat yang mengkristal.

Pendapat ini telah dikukuhkan dalam Kitab Al-Anwar. Kelima: Masuk waktu, bagi yang berhadas terus-menerus, misalnya orang beser kencing dan wanita mustahadhah. Disyaratkan juga bagi orang seperti itu! Khatib yang selalu berhadas, wajib mengerjakan dua kali wudu atau tayamum.

Pertama untuk dua khotbah, sedangkan kedua untuk salat Jumat. Sedang bagi orang selain itu, maka cukup satu kali wudu untuk khotbah dan salatnya. Dia orang beser , wajib wudu setiap akan mengerjakan kefarduan —seperti halnya tayamum—, Begitu juga bagi wanita mustahadhah , wajib mencua farji vagina , mengganti kapas penutup lubang vagina dan tali penguatnya, meskipun semuanya tidak berubah dari tempatnya.

Apabila menundanya karena ada maslahat, misalnya: menanti jamaah atau salat Jusnat -walau. Pertama: Niat wudu, menunaikan kefarduan wudu, menghilangkan hadas bagi selain orang yang selalu berhadas, —kesemuanya tersebut hingga dalam masalah wudu yang diperbarui—, niat thaharah dari hadas, atau thaharah untuk menunaikan ibadah semacam salat, yaitu ibadah yang dilakukan hanya dengan wudu, atau niat memperoleh kebolehan melakukan ibadah yang perlu dengan wudu, misalnya salat dan menyentuh Mushaf.

Maksudnya, kesahan amal, bukan kesempurnaan amal, adalah dengan niat. Dalam niat, wajib membersamakan niat pada awal membasuh muka. Jika meletakkan niat di tengah membasuh muka, maka hal itu adalah sudah mencukupi, namun wajib mengulangi basuhan yang sudah terjadi sebelum niat tersebut. Tidak boleh meletakkan niat sebelum basuhan muka, sekira tidak bisa membersamakan niat dengan sebagian dari basuhan itu.

Basuhan yang bersamaan dengan niat, adalah disebut awalnya. Karena itu, terlepaslah kesunahan berkumur, jika sesuatu dari muka ikut terbasuh bersama berkumur, misalnya merah bibir —sesudah niat—. Yang utama, hendaknya memisah-misahkan niat. Dengan cara niat kesunahan berwudu di waktu membasuh kedua telapak tangan, berkumur dan menyesap air ke dalam hidung, lalu niat fardu wudu ketika membasuh muka.

Batas bujur muka adalah: Antara tempat-tempat tumbuh rambut kepala yang wajar sampai bawah pertemuan dua rahang —dengan dibaca fat-hah huruf lamnya— yang ujungnya masuk daerah muka, bukan daerah yang di bawahnya dan bukan pula rambut yang tumbuh di bawahnya.

Sedangkan batas lintang muka adalah: Antara dua telinga. Wajib membasuh rambut muka. Wajib membasuh luar dan dalam setiap rambut di daerah muka yang telah lewat, —sekalipun lebat—, karena rambut tersebut jarang sekali tumbuh lebat di sana.

Tetapi tidak wajib membasuh dalam jenggot dan jambang yang lebat. Ketentuan lebat, adalah sekira kulit tidak tampak dari sela-sela rambutnya, ketika berada di majelis.

Wajib juga membasuh bagian yang tidak nyata basuhan keseluruhannya, kecuali dengan membasuh bagian tersebut.

Sebab, sesuatu yang wajib jika tidak bisa sempurna kecuali dengan perkara lain, maka perkara tersebut ikut menjadi wajib. Ketiga: Membasuh dua tangan, Yaitu, dari telapak tangan sampai ke siku, berdasarkan suatu ayat Alqur-an. Perkara-perkara yang berada di daerah fardu, adalah wajib dibasuh, yaitu rambut dan kuku, sekalipun panjang. Jika seseorang lupa membasuh seberkas anggota, lalu terbasuh ketika ketiga kalinya atau ketika mengulangi wudu karena lupa, bukan karena membarui wudu, maka hal itu sudah mencukupi.

Imam Al-Baghawi berkata:. Karena berdasarkan ayat. Sebab, Nabi Muhammad saw. Hal itu adalah riwayat dari Imam Abu Hanifah -rahimahullah-. Menurut pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah, adalah wajib membasuh seperempat kepala. Kelima: Membasuh dua kaki, berikut mata kaki masing-masing, berdasarkan suatu ayat.

Atau dengan mengusap dua khuf, dengan memenuhi syarat-syaratnya. Jika ada semacam duri masuk ke kaki, di mana sebagian darinya tampak dari luar, maka wajib mencabut dan membasuh tempat tertusuknya, karena tempat itu dihukumi luar. Jika duri itu masuk keseluruhannya, maka dihukumi anggota dalam. Karena itu, wudunya sah,. Apabila pecah, maka wajib membasuh bagian dalamnya, selama tidak menutup kembali. Dalam masalah mandi, para ulama menyebutkan: Sungguh, diampuni bagian dalam pada ikatan-ikatan rambut, jika mengikat dengan sendirinya.

Di-ilhaq-kan disamakan dengan masalah ini, orang yang terkena penyakit telur kutu pada pangkal rambutnya, sehingga mencegah air sampai pada kulit dan tidak mungkin membersihkannya. Seorang guru dari guru-guru kita, yaitu Imam Zakariya Al-Anshari menjelaskan: Orang tersebut tidak dapat disamakan dengan.

Akan tetapi orang yang terkena penyakit telur kutu harus tayamum. Tetapi guru kami Ibnu Hajar AlHaitami yang menjadi murid beliau berkata: Pendapat yang beralasan adalah diampuni, karena ada unsur darurat. Keenam: Tertib, sebagaimana tersebut di atas. Jika orang yang berhadas menyelam, walaupun dalam air sedikit, dengan niat yang benar di atas, maka cukup wudunya, meskipun waktu untuk menyelam tersebut umpama digunakan wudu secara tertib tidak mencukupi.

Jika seseorang mandi dengan menyiramkan air serta niat wudu, maka disyaratkan benar-benar tertib. Di sini udaklah menjadi masalah dengan ketidak tahuan atas seberkas atau beberapa berkas bagian selain anggota wudu yang tidak tersiram air, bahkan meskipun pada anggota itu terdapat penghalang air, misalnya lilin. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan oleh guru kita Ibnu Hajar Al-Haitami. Jika seseorang berhadas kecil dan besar, maka sudah mencukupi mandi janabah untuk keduanya, jika telah disertai niat wudu.

Dan tidak wajib yakin, bahwa air telah merata pada seluruh anggota tubuhnya: akan tetapi cukuplah dengan suatu perkiraan saja sebab dengan adanya niat mandi, hadas kecil masuk dalam hadas besar -pen.

Jika yang berwudu atau mandi ragu atas kesucian anggotanya sebelum selesai wudu atau mandinya, maka dia harus menyucikannya, dan menyucikan anggota yang ada sesudahnya, jika dirnisbatkan masalah wudu. Dan jika keraguan itu dalam masalah niat, juga tidak apa-apa, menurut beberapa wajah pendapat, seperti yang termaktub dalam Syarah Minhaj, susunan Guru kita. Disitu dia berkata: Di bawah ini dapat dikiaskan hukumnya dengan keraguan yang terjadi dalam masalah Fatihah sebelum rukuk.

Yaitu: Apabila yang bersuci merasa ragu: apa sudah membasuh seluruh anggota atau belum, maka dia wajib mengulangi basuhan itu, atau ragu akan pemerataan basuhannya, maka dia tidak wajib mengulangi basuhannya. Karena itu, perkataan mereka yang pertama yang ragu atas kesucian seluruh basuhan anggota atau belum diarahkan pada keraguan adanya basuhan, bukan pemerataan basuhan. Sunah bagi orang yang wudu: meskipun.

Segala puji milik Allah yang telah menjadikan air sebagai pencuci. Bagi yang lupa membaca Basmalah di permulaan wudunya, sunah di tengah wudunya membaca: Bismillahi awwalahu wa akhirahu Dengan menyebut nama Allah dari awal sampai akhir.

Tidak sunah membacanya setelah selesai wudu. Kesunahan dan tata cara membaca Basmalah di atas, juga berlaku dalam amal-amal kebaikan, misalnya makan, minum, mengarang dan memakai celak mata. Karena itu, orang yang wudu hendaknya membaca Basmalah bersamaan ketika mencuci kedua tangannya, sementara itu hatinya niat wudu. Sunah membaca Basmalah ketika mulai membaca Algur-an, walaupun dari tengah-tengah surah —di luar atau dalam salat—: disunahkan pula waktu akan mandi dan menyembelih binatang.

Bersiwak itu bisa dihasilkan kesunahannya dengan sesuatu yang kasar, meskipun berupa sobekan kain gombal atau kayu asynan benalu. Dari kayu tersebut yang lebih utama adalah kayu arak. Tidak disunahkan bersiwak dengan menggunakan jarijemari, meskipun berwujud kasar.

Sementara itu, Imam An-Nawawi memilih kebalikan pendapat tersebut. Bersiwak itu hukumnya sunah muakad, —walaupun bagi orang yang tidak bergigi-setiap berwudu, akan salat, baik salat fardu atau sunah, meskipun tiap dua rakaat salam atau sudah bersiwak waktu berwudu, dan sekalipun antara salat dan wudunya tidak terpisah sesuatu.

Hukum sunah muakad bersiwak untuk setiap akan salat ini , sekiranya tidak dikhawatirkan kenajisan mulutnya. Jika lupa bersiwak di permulaan salat, maka ia sunah melakukan di tengah-tengahnya dengan perbuatan yang sedikit, sebagaimana memakai serban.

Bersiwak juga sunah muakad di waktu akan membaca Alqur-an atau Alhadis, ilmu agama, dan ketika mulut berbau busuk atau berubah warnanya akibat semacam tidur atau makanan yang berbau tidak menyenangkan: atau gigi Serwarna kuning, sesudah bangun tidur atau akan tidur, di kala hendak masuk mesjid atau rumah, sesudah waktu sahur dan akan dicabut nyawanya.

Dikatakan, bahwa bersiwak dalam keadaan sakratuk Maut dapat mempercepat keluar roh dari jasad. Dari keterangan hadis tersebut dapat disimpulkan: Bersiwak hukumnya sunah muakad bagi, orang sakit.

Dalam bersiwak, harus niat mengerjakan kesunahan, —supaya dapat pahala—: hendaknya juga menelan ludah bekas bersiwak yang pertama, namun tidak perlu menyesap alat siwak. Sunah mencukil sisa-sisa makanan yang berada di sela-sela gigi, baik dilakukan sebelum bersiwak ataupun sesudahnya. Bersiwak hukumnya lebih utama daripada mencukil, tapi pendapat ini berlawanan dengan pendapat ulama lainnya. Memakai alat siwak orang lain itu hukumnya tidak makruh, asal telah mendapat izin atau sudah diketahui akan kerelaannya.

Jika tidak demikian, maka hukumnya adalah haram, sebagaimana mengambil alat siwak tik orang lain. Demikian itu jika memang tidak berlaku kebiasaan melarang memakai siwak orang lain. Orang yang berpuasa hukumnya makruh bersiwak sesudah matahari tergelincir ke arah barat, selagi mulutnya tidak berubah baunya akibat tidur misalnya. Untuk memperoleh asal sunah, tidak disyaratkan memutar-mutar air dalam mulut, membuang dan menyemburkan mengeluarkan nya dari hidung, tapi ketiga hal tersebut hanyalah sebagai kesunahan belaka, seperu juga masalah menyangatkan dalam memutar-mutar air kumur dan sesapan bagi orang yang tidak berpuasa.

Ini semua karena berdasarkan perintah melakukan keduanya. Sunah mengumpulkan berkumur dan menghirup air pada tiga ceduk: masing-masing ceduk digunakan berkumur dan mengshirup air.

Jika yang berwudu mencukupkan dengan usapan sebagian kepala, maka yang lebih utama adalah mengusap ubun-ubun. Cara mengusap yang lebih utama, adalah meletakkan kedua tangannya pada bagian depan kepala, dalam posisi telunjuk saling bertemu, dua ibu jari diletakkan pada dua pelipis, lantas memutar-mutarnya beserta jari-jari lain ke belakang sampai tengkuk, lalu kembali lagi ke depan.

Jika kepalanya berambut, rambutnya sampat membalik: dan jika tidak berambut, maka cukup memutar tangan saja. Sesudah mengusap ubun-ubun, sunah menyempurnakan usapan pada serban atau kopiah, jika memakainya. Cara yang paling utama: Menyelanyelai jari-jari kaki dari bawah dengan kelingking tangan kiri, mulai dari kelingking kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri.

Artinya, menyela-nyela jari-jari dengan jari kelingking tangan kiri, dari bawah kaki, yang dimulai dari kelingking kaki kanan dan diakhiri pada kelingking kaki kiri. Maka, barangsiapa yang mampu untuk memanjangkan basuhannya, hendaknya ia mau melakukan. Paling tidak, memanjangkan basuhan bisa terjadi dengan melebihkan sedikit atas perkara yang wajib. Sedangkan untuk sempurnanya, adalah meratakan basuhan pada anggota-anggota yang telah lewat.

Penigakalian bisa terjadi dengan umpama memasukkan tangan —walaupun ke air yang sedikit— lalu menggerakkannya dua kali dalam air itu. Jika ia mengulang-ulang air basuhan yang kedua, maka berhasillah hukum penigakalian, sebagaimana yang dijelaskan oleh Guru kita Ibnu Hajar AlHaitami. Penigakalian tidak bisa mencukupi tidak sah , jika dilakukan sebelum basuhan wajib, dan tidak mencukupi sesudah sempurna wudunya.

Membasuh kurang dari tiga kali hukumnya makruh, sebagaimana melebihinya dengan niat wudu, sebagaimana yang dibahas oleh segolongan ulama. Jika tambahan: tersebut dengan air wakaf persediaan bersuci, maka hukumnya adalah haram. Orang yang di tengah-tengah berwudu merasa ragu dalam hal pemerataan atau jumlah basuhan, maka ia watib mengambil yang di yakini dalam perkara yang wajib seperti ragu dalam masalah basuhan pertama atau pemerataannya terhadap anggota.

Hal itu, karena Nabi saw. Pada perbuatan-perbuatan kebalikan tahrim positif , disunahkan mendahulukan kiri. Yaitu segala perbuatan yang masuk kategori negatif dan kotor, misalnya istinja, mem.

Disunahkan memulai membasuhnya dari wajah bagian atas, dari ujung tangan dan kaki —walaupun berwudu dengan air yang dituangkan oleh orang lain—. Sunah juga mengambil air basuhan wajah dengan dua tangan sekaligus, serta meletakkan wadah air yang diciduk pada sebelah kanan: dan wadah air yang dituangkan oleh orang lain, diletakkan di sebelah kiri.

Hukum kesunahan di atas, jika pada tepian mata tidak terdapat tahi mata yang menghalangi air sampai ke tempat dasar. Membasuh dalam mata hukumnya tidak sunah. Bahkan sebagian ulama berkata, bahwa hal itu adalah makruh, sebab berakibat dharar bahaya. Wajib membasuhnya, hanya kalau ada najis di situ, karena najis itu besar artinya. Memberi salam terhadap orang sedang berwudu, mengucapkan salam dan menjawab baginya, adalah tidak makruh.

Caranya , orang yang berwudu menghadap kiblat, mengangkat kedua tangan dan melihat ke langit -walaupun orang buta-seraya mengucapkan: Saya bersaksi, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah Yang Esa dan tiada yang menyekutukan-Nya, dan saya bersaksi sesungguhnya Nabi Muhammad adalah hamba dan pesuruh-Nya.

Berdasarkan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, dari Rasulullah saw. Jadikanlah saya termasuk golongan orang-orang yang bertobat dan suci. Ya, Allah dan dengan pujiMu saya bersaksi, bahwa. Mengenai doa yang dibaca pada basuhan tiap-tiap anggota, adalah dada dasarnya yang kuat.

Karena itu, saya membuangnya, seperti yang dilakukan oleh Syaikhul Mazhab, Imam Nawawi. Dikatakan: Setiap membasuh anggota, adalah disunahkan membaca: Saya bersaksi, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah, Yang Maha Esa dan uada yang menyekutui-Nya, dan saya bersaksi, bahwa Nabi Muhammad adalah hamba dan pesuruh-Nya. Dasarnya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Al-Mustaghfiri, dan ia mengatakan: Hasan tersebut adalah hadis Hasan Gharib.

Kesunahan salat dua rakaat di atas, menjadi hilang jika telah berselang lama menurut umum. Hal ini atas tinjauan beberapa wajah bentuk pendapat. Sedangkan menurut sebagian ulama: Hal itu bisa hilang sebab bermaksud tidak mengerjakan salat, menurut sebagian lagi:.

Bersuci dengan air wakaf persediaan untuk minum, adalah haram, begitu juga dengan air yang belum jelas statusnya untuk minum apa untuk bersuci , menuru tinjauan berbagai pendapat. Memindah air yang disediakan untuk minum ke tempat lain adalah juga haram. Jika waktu sudah sempit untuk mengerjakan salat seluruhnya dalam waktu itu, maka wajib bagi orang yang berwudu membatasi diri pada basuhan atau usapan, karena itu, ia tidak boleh mengulang tiga kali dan tidak boleh melakukan kesunahankesunahan lain.

Hal itu telah dijelaskan oleh Imam Al-Baghawi dan lainnya, serta diikuti oleh ulama-ulama akhir. Akan tetapi Imam Al-Baghawi dalam masalah tertinggal salat berfatwa: Seseorang boleh menyempurnakan kesunahan-kesunahan salat, meskipun akhirnya ia tidak menemukan satu rakaat dalam waktunya.

Dalam pada itu, Al-Baghawi membedakan antara masalah wudu dengan salat , bahwa orang yang mengerjakan salat terleka pada suatu maksud yaitu: salat.

Maka dihukumi sebagaimana orang yang memanjangkan bacaan dalam salat sehingga keluar dari waktunya. Atau bila persediaan air berwudu sedikit, yang perkiraannya hanya cukup untuk mengerjakan hal fardu. Jika orang yang berwudu ada air yang tidak cukup untuk kesempurnaan bersuci —jika ia mengulang tiga kali atau melakukan kesunahan-kesunahan—, atau diperlukan sisa air untuk binatang dimuliakan syarak yang haus, maka baginya haram menggunakan air tersebut untuk melakukan kesunahan.

Orang yang berwudu hukumnya sunah membatasi pada hal-hal yang wajib saja, jika ia tergesa-gesa untuk mengikuti salat berjamaah, yang tiada jamaah selain itu. Benarlah begitu. Untuk sunah wudu yang ada pendapat lain mengatakan wajib, misalnya menggosok menurut Imam Malik hukumnya wajib , maka hendaknya didahulukan sebelum berjamaah.

Tayamum boleh dilakukan karena hadas besar atau kecil, jika tiada air atau khawatir berbahaya dalam menggunakannya, dengan debu — yang suci menyucikan. Jika seseorang merasa yakin mendapat air di akhir waktu, maka baginya lebih baik menanti.

Kalau tidak punya keyakinan, yang lebih utama adalah bersegera mengerjakan tayamum. Jika anggota seseorang tercegah menggunakan air, maka baginya wajib bertayamum, membasuh anggota yang sehat dan mengusapkan air pada pembalut yang berbahaya jika dilepas. Bagi orang junub tidak wajib tertib antara tayamum dan membasuh anggota yang sehat. Jika yang tidak bisa terkena air itu dua anggota, maka tayamum wajib dilakukan dua kali.

Dengan satu kali tayamum, hanya diperbolehkan melakukan satu kali salat fardu, sekalipun sala nazar. Dan hukumnya adalah sah, sz kali tayamum untuk melakuk salat fardu dan salat Jenazah.

Pertama: Yakin telah keluar sesuatu selain air sperma sendiri. Baik berupa benda ataupun angin, basah atau kering, biasa keluar seperti kencing atau tidak seperti darah bawasir dan lain-lainnya, terputus atau tidak, seperti cacing yang mengeluarkan kepalanya, lalu kembali. Dari salah satu dua pintu kubul dan dubur orang berwudu yang hidup, baik lewat dubur atau kubul, meskipun yang keluar itu penyakit otot lingkar yang tumbuh di dalamnya bawasir.

Lantas keluar otot tersebut atau bertambah nanjang dari semula. Namun menurut fatwa AlAllamah Al-Kamalur Raddad, keluar otot tersebut tidak membatalkan wudu: Yang membatalkannya adalah perkara yang kebetulan bersamanya, misalnya darah. Kedua: Hilang kesadaran sebab mabuk, gila, ayan ataupun tidur.

Terkecualikan mengantuk dan permulaan rasa mabuk pening dari hilang kesadaran. Karena itu, keduanya tidak membatalkan wudu, sebagaimana seseorang merasa ragu: Apakah ia tidur atau mengantuk.

Tanda mengantuk adalah: masih mendengar bicara orang yang berada di sekelilingnya, sekali pun tidak paham. Wudu tidak batal lantaran hilang kesadaran sebab tidur dalam posisi duduk, yang merapat antara tempat tidur dengan pantatnya, yang tidak berubah dari tempat semula, meskipun sambil bersandaran sesuatu yang kalau tidak ada menyebabkan ia jatuh, atau duduk dalam posisi mierangkung sedengkul: Jawa , di mana pantat tidak renggang dengan tempat duduknya.

Wudu orang yang tidur dengan seperti di atas, menjadi batal, jika ia bangun telah berubah dari tempat semula. Jika hanya sekadar ragu: Apakah pantatnya berubah atau tidak, berubah sebelum bangun atau sesudahnya, maka wudunya tidak batal. Yakin dengan suatu mimpi, di mana ia yakin tidak ingat adanya tidur, hal ini tidak membawa pengaruh apa-apa.

Lain halnya, jika ia merasa ragu dengan durnya, sebab mimpi dimenangkan sebagai yang terjadi pada salah satu dari dua kemungkinan. Ketiga: Menyentuh kemaluan manusia atau tempatnya, jika kemaluan itu putus, baik kemaluan orang mati atau anakanak, kubul atau dubur, masih terpasang ataupun sudah terputus, selain potongan khitan.

Bagian dubur anus pembatal wudu adalah bibir lubang anus, sedangkan untuk bibir farji vagina , bukan bagian-bagian belakang bibir, seperti tempat perkhitanan kelentit. Disunahkan berwudu setelah menyentuh semacam rambut kelamin, dalam dubur. Dengan ketentuan kemaluan manusia, maka terkecualikan kemaluan binatang, sebab padanya tidak terdapat daya tarik seks.

Karena itu, hukum melihat kelamin binatang adalah boleh. Menyentuh yang membatalkan wudu, adalah dengan menggunakan telapak tangan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad saw. Yang dimaksudkan dengan telapak tangan di sini adalah: Bagian dalamnya, jari-jari bagian dalam, tepian tapak tangan yang terhimpit jika dirapatkan dengan menekan sedikit. Bagian yang tidak termasuk adalah ujung jari, tepian ujung jari dan tepian telapak tangan. Keempat: Persentuhan kulit laki-laki dengan wanita, meskipun tidak syahwat, dan sekalipun salah satunya terpaksa atau orang mati, bagi yang mati wudunya tidak batal.

Yang dimaksudkan dengan kulit di sini, adalah selain rambut, gigi dan kuku. Guru kami berpendapat: Dan selain biji mata. Jika seseorang masih ragu: Yang disentuh itu rambut ataukah kulit, maka wudunya tidak batal.

Seperti halnya jika tangannya menyentuh kulit, ia sendiri tidak mengerti: Apakah kulit laki-laki atau perempuan, atau ragu menyentuh mahram atau orang lain.

Persentuhan kulit antara dua anak kecil, atau satu anak kecil, sedangkan yang lain dewasa, adalah tidak membatalkan wudu, karena tidak adanya daya tarik. Yang dimaksudkan dengan anak kecil, ialah semua orang yang menurut ketentuan umum belum ada daya tarik seks syahwat. Persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan yang ada hubungan mahram —baik dari arah nasab, susuan, atau perkawinan mertua —, adalah tidak membatalkan wudu, sebab tidak adanya daya tarik birahi.

Jika perempuan mahramnya berada di tengah-tengah perempuan-perempuan mirip lain yang jumlahnya dapat dihitung diketahui dengan mudah. Begitu juga, jika jumlah perempuan tersebut tidak mudah dihitung. Atas dasar beberapa tinjauan. Keyakinan masih punya wudu atau telah berhadas, tidak bisa hilang lantaran persangkaan kebalikannya, Demikian pula —lebih-lebih— dengan keraguan atas kebalikan dari keyakinan, karena melangsungkan keadaan semula sstishhab.

Karena itu, keyakinanlah yang harus diambil. Sebab hadas, seseorang diharamkan melakukan salat, tawaf, sujud ulawah atau syukur, membawa Mushaf, membawa sesuatu yang bertuliskan Algur-an, yang disediakan untuk belajar, sekalipun hanya sebagian ayat, misalnya batu tulis.

Tidaklah haram membawa Mushaf, jika bersama barangbarang lain, di mana Mushaf tidak dimaksudkan untuk dibawa. Haram pula memegang lembaran Mushaf, meskipun bagian kosong: atau memegang bungkusnya yang disediakan untuk membungkus.

Tidak haram membalik lembaran Mushaf dengan semacam kayu kecil, asal kayu tersebut tidak melekat padanya. Tidak haram pula membawa kitab Tafsir Alqur-an yang tafsirannya lebih banyak, walaupun tidak secara persis diketahui untuk kitab Tafsir Jalalain, yang lebih hati-hati, adalah membawanya dengan keadaan punya wudu — pen. Anak mumayiz yang sedang menanggung hadas —sekalipun junub—, tidak dilarang membawa atau menyentuh Mushaf, untuk belajar, membaca dan wasilah mempelajarinya, seperti membawa ke meja dan menghadapkan ke depan guru untuk belajar.

Sunah berdiri menghormati Alqur-an, sebagaimana menghormati orang alim, bahkan menghormau Alqur-an itu lebih utama. Makruh hukumnya membakar sesuatu yang bertuliskan Alguran, kecuali jika bermaksud semacam menjaganya. Dalam hal ini lebih baik menghapusnya. Diam di dalam mesjid, membaca Alqur-an sekalipun sebagian ayat yang terdengar diri sendiri, dan meskipun ia kanak-kanak, mengenai yang ini anak-anak yang junub , adalah bertentangan dengan pendapat Imam An-Nawawi.

Tidak diperbolehkan haram salat, membaca Alqur-an dan puasa, bagi wanita yang mengeluarkan darah Thalg darah yang keluar akibat menahan rasa sakit waktu melahirkan -pen. Puasa yang tertinggal di sini wajib dikadha, sedangkan salat tidak wajib, atas dasar beberapa tinjauan. Mandi menurut arti bahasa: Mengalirkan air pada sesuatu. Sedangkan menurut syarak: Mengalirkan air pada semua badan dengan niat mandi. Mandi tidak wajib dikerjakan seketika, meskipun penyebab kewajibannya dikerjakan sebagai durhaka umpama berzina.

Lain halnya dengan mencuci najis yang dikerjakan akibat durhaka. Tetapi membaca fat-hah ghainnya adalah lebih fasih. Kata-kata Ghusl mempunyai arti perbuatan mandi dan air yang digunakan-. Air mani bisa diketahui melalui salah satu dari tiga ciri-ciri: Waktu keluar terasa lezat, Keluar dengan tercurat: Waktu basah berbau adukan bahan roti dan setelah kering berbau putih telur. Jika seseorang meragukan, apakah mani atau madzi, walaupun keluarnya dengan syahwat, ia boleh memilih: menganggap mini, lalu mandi: atau menganggap madazi, lalu mencuci dan berwudu.

Jika seseorang melihat mani kering yang menempel pada pakaiannya, maka ia wajib mandi dan mengulangi salatnya yang diyakini dikerjakan setelah keluar mani tersebut, selagi tidak berlaku suatu kebiasaan, bahwa mani tersebut dari orang lain.

K edua: Masuknya kepala zakar penis , atau tengkuknya, bagi orang yang tidak mempunyai kepala penis, walaupun dari penis lepasan, binatang ataupun orang mati.

Ke dalam farji —kubul vagina atau dubur anus —, sekalipun farji binatang, misalnya ikan atau orang mati. Jika seorang wanita mengeluarkan darah sebelum berusia 9 tahun kurang 16 hari, maka darah tersebut dinamakan juga dengan haid.

Masa keluar darah haid paling sedikit I hari 1 malam, dan terpanjang 15 hari 15 malam, walaupun darah tersebut tidak berturut-turut keluarnya -pen , sebagaimana masa terpendek untuk suci di antara dua kali haid.

Diharamkan sebab haid: Semua yang diharamkan sebab janabah dan hubungan seksual antara pusat dan lutut. Dikatakan: Tidak diharamkan selain persetubuhan. Manakala pendarahan itu sudah berhenti, diperbolehkan sebelum mandi, berpuasa, tidak boleh bersetubuh. Juga diwajibkan mandi sebab melahirkan, sekalipun tidak basah dan yang keluar berupa segumpal darah atau daging: dan wajib mandi sebab mati bagi seorang muslim yang bukan syahid.

Pertama : Niat menghilangkan janabah bagi orang yang junub, atau haid bagi yang haid. Maksudnya, menghilangkan hukum janabah dan haid. Boleh juga niat menunaikan. Niat itu wajib bersama-sama permulaan mandi. Fatih Syuhud di sini. Konsultasi agama, kirim via email: alkhoirot gmail. Untuk Konsultasi Agama kirim ke: alkhoirot gmail. Fatih Syuhud di sini!

Emoticon Emoticon. Terjemah Kitab. Tags Fiqih. Artikel Terkait. This Is The Newest Post. Previous Post. Anak Santri 11 Juni Kemasyarakatan 1 Mei Unknown 13 Juli Unknown 14 Agustus Tambahkan komentar.

Muat yang lain Popular Posts. Khulashah Nurul Yaqin Terjemahan kitab khulasah nurul yaqin merupakan intisari dari kitab Nurul Yaqin yang merupakan kitab tentang Sira Ceramah Sunda KH.

Beliau adalah ibarat KH Zainuddin Mz nya tataran sunda Download 17 Doa dan Dzikir Mp3. Kumpulan Doa dan Dzikir setiap hari dan malam dalam bentuk audio mp3, agar memudahkan kita untuk mendengar dan menghafalkan, dan juga aga Terjemahan Sulam Munajat Terjemahan lengkap dengan arab dan latin bahasa indonesia dari kitab Sulam al-Munajat, yaitu sebuah kitab klasi Simbol dan Kode Menerjemahkan Kitab Kuning.

Kode Kitab Kuning Santri yang belajar dan mengaji di pondok pesantren dalam memahami dan menerjemahkan Kitab Kuning memiliki Sombol-sim Free Online Counter.



0コメント

  • 1000 / 1000